Kapan terakhir kali kamu bahagia?

Spread the love

Padahal, duka dan bahagia sifatnya sementara, tapi kenapa kamu lupa kapan terakhir kali bahagia?

Akhir bulan Mei lalu, saya berkunjung Semarang untuk beberapa hari bertemu dengan beberapa teman. Karena memang sudah cukup lama tidak ke sana, saya tinggal beberapa hari di Semarang. Itu saja masih ada beberapa orang yang tidak bisa ditemui, entah itu jadwal mereka yang padat atau saya sudah ada janji bertemu dengan orang lain.

Tentu saja, di Semarang saya tidak bersama teman-teman 24 jam sehari. Ada waktu-waktu buat saya sendiri. Baik saat sedang berkendara atau ketika hendak tidur. Dua momen tersebut membuat saya banyak berpikir dan berbincang-bincang dengan diri sendiri. Maklum, saat itu emosi masih cukup labil.

Pada suatu ketika, entah bagaimana caranya, tiba-tiba ada pertanyaan yang muncul dalam pikiran saya.

Kapan terakhir kali kamu bahagia?”

Dheg!!

Sembari berkendara, saya terdiam cukup lama mengiyakan pertanyaan itu dan bertanya-tanya,

“eh iya, terakhir saya merasa bahagia kapan, ya?”  

Mengingat beberapa bulan belakangan saya mengalami banyak hal yang menurut saya buruk dan bikin mental breakdance. Bukan bermaksud mendiagnosa diri sendiri, tapi waktu-waktu tersebut merupakan titik terendah. Beberapa orang mungkin telah lelah dan menyerah karena terus-terusan saya curhati dengan keadaan seperti itu. Ya, ini emang berasal dari kebodohan saya sendiri, sih, tapi bukan berarti saya tidak terluka.

Pertanyaan kapan terakhir kali bahagia itu kemudian saya tanyakan ke beberapa teman lainnya. Beberapa orang yang dekat pun saya beri sebuah permainan dengan pertanyaan ini.

“saya punya satu pertanyaan yang sulit kamu jawab.”

“Apa?”

“Kapan terakhir kamu bahagia?”

Ada jeda yang cukup lama di antara pembicaraan kami. Belum sempat dia menjawab karena masih berpikir, saya timpali lagi dengan sebuah pernyataan.

“Aku punya satu pertanyaan yang gampang sekali kamu jawab”

“Apa?”

“Kapan terakhir kali kamu sedih?”

Tidak ada lima detik dia menjawab, “ini, barusan.”

Sepertinya, makin lama kita hidup, ada-ada saja hal yang membuat kita sulit untuk bahagia. Kita seperti dibebani dengan hal-hal yang ada di pikiran dan hal-hal yang tidak bisa dikendalikan. Belum lagi ada rasa iri dengan hal sesuatu yang tidak kita miliki, tetapi dimiliki orang lain. Lalu, ada rasa insecure dan overthinking karena merasa diri ini belum meraih apa-apa. Beban tersebut lama-lama menjadi luka tersendiri yang sulit dan lama untuk sembuh. Hingga akhirnya, ada hal yang mengubah persepsi saya dan membuat saya tahu kalau ternyata bahagia sebenarnya tidak serumit itu.

Today is Present, You Deserve All of It!

woman in blue spaghetti strap top posing for photo
Photo by Godisable Jacob on Pexels.com

Ada banyak cara untuk bahagia, salah satu yang paling menyenangkan adalah dengan menjadi diri sendiri

Sehari setelah Idul Fitri lalu, saya memutuskan satu hal penting dalam hidup. Sejak hari itu, saya menyadari, ternyata, bisa loh, kita bahagia dengan hal-hal yang terdengar sepele. Salah satunya, membuat hidup hari ini dan apa yang kita lakukan, meskipun hal sepele, sebagai hadiah.

Apa yang kita lalui setiap hari bisa aja jadi hadiah (present)untuk diri kita sendiri. Gak perlu pergi ke tempat yang mewah atau jauh, bahagia bisa kita ciptakan dalam keseharian kita juga.

Buat saya sendiri, memutar musik dengan beragam genre, mulai dangdut koplo, k-pop, romantic pop, ost anime, sampai JKT48 itu menyenangkan sekali. Saat memutar lagu-lagu koplo milik Denny Caknan, Ndarboy Gank, Aftershine, Jono Joni, Happy Asmara, dan lainnya. Ada perasaan senang sembari joget tipis-tipis mengikuti beat lagu tersebut.

Hal yang sama saya lakukan ketika lagu-lagu K-POP, seperti Gaho, Akmu, BLACKPINK, TWICE, Secret Number, dan lagu easy listening lainnya. Fyi, sekarang saya sedang sering memutar lagi Level Up-nya aespa. Asli, bassline sama beat lagu ini nagih banget.

Ketika sedang mendengarkan lagu sedih dengan tempo yang slow, saya bisa terdiam dan meresapi lirik yang tajam sambil sesekali berkata, “damn, lagunya sedih sekali, saudara.”

Di sini, saya juga punya teman makan dan nongkrong untuk menjelajahi tempat makan atau coffee shop yang enak nan asyik di kota ini. Ternyata, makan-makanan yang enak membuat mood jadi lebih baik. Kadang, saya makan seperti anak kecil. Abis makan, sebat sebatang sambil menikmati sisa-sisa kehidupan. Beuh, nikmat sekali, saudara. Sesekali juga kita melihat orang-orang yang makan di sekitar sambil melakukan prasangka buruk, “sepertinya cowok ini lagi jadi badut.”

Sesekali juga saya pergi ke Semarang. Rutinitas waktu itu yang tak pernah terlewatkan adalah makan Ayam Bali Motekar dan Penyet kuah bareng Ade Dosmaria. Saya juga bertemu dan melakukan permufakatan jahat bersama Komsel Jahat yang sekarang sudah naik level jadi Komsel Bangsat. Pada malam Minggu, kami biasanya makan babi. Setelah itu, barulah minum minuman beralkohol dengan beragam cerita-cerita menarik dan nakal. Mulai dari kisah nabi-nabi hingga kisah-kisah lainnya. Di Semarang juga kadang bertemu dan berbincang dengan teman lainnya.

Hari-hari biasa di Solo, biasanya HP saya juga cukup sepi, tapi saya tidak terlalu merasa kesepian seutuhnya. Ya, karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Bangun pagi, menghirup udara segar, masak, kemudian mandi. Sesekali saya juga jogging di sore hari. Oh, iya, akhir-akhir saya juga sering traveling, kadang sendiri, kadang berdua, kadang berempat.

Kalau dulu traveling untuk melarikan diri, sekarang traveling untuk menyenangkan hati.

Ternyata, ada banyak hal menyenangkan yang bisa saya lakukan, makan makanan enak, joget tipis-tipis, nonton drakor, pergi ke pantai, hiking, bertemu dengan orang-orang baik, menyendiri, dan lainnya. Kalau hal itu saja bisa saya lakukan, alangkah bodohnya jika saya tidak mulai menikmati hidup.

Ke mana saja saya selama ini? Oh iya, saya sibuk dengan asumsi-asumsi yang bebas bertumbuh menjadi monster dalam pikiran saya.

Saya merasa kalau keadaan hati dan mindset tentang bahagia di dalam saya perlahan berubah ke arah yang lebih baik (i know this is too cliche). Just takes your time and enjoy it. Then, the feeling of grateful will blow up in your heart.

Make Sure Your Boundaries

woman with paper with cross sign
Photo by Anete Lusina on Pexels.com

Asli, ini kesalahan besar yang sebelum-sebelumnya sering saya lakukan dan itu terjadi berulang-ulang kali sampai saya capek sendiri. Kesalahan ini adalah saya terlalu sering mengonfrontasi diri dengan hal-hal yang berpotensi membuka lama.  Maklum saja, waktu itu ego masih tinggi sok-sokan menganggap diri ini kuat.

Saya denial jika nyatanya luka itu belum sembuh total. Saya terobsesi dengan dia dan nyaris setiap saat ingin tahu aktivitas keberadaan dia. Kalau saja kamu tahu apa yang saya lakukan, kamu pasti mengernyitkan dahi terheran-heran. Padahal, saya tahu, saya tidak akan bisa untuk meraihnya. Jarak di antara kita sudah terlalu jauh dan sekarang saya sudah terlalu lelah.

Karena melakukan kesalahan yang berulang, ada rasa sakit dan sesak yang berulang juga. Sampai pada satu titik Icha bilang, “Kak, yang kamu lakukan tuh sama aja menyakiti diri sendiri.” Damn! yang sering tidak kita sadari, kita sering melakukan hal-hal yang justru menyakiti diri kita.

“Enggak kok, saya sudah kuat”

“Aku tuh dah biasa saja sama dia”

“Tenang aja, aku orangnya kuat, kok”

“Percaya, deh, aku ga bakal kenapa-kenapa kalau ketemu dia”

JESUS! Tidak usah sok kuat dengan mengonfrontasi hal yang tidak perlu yang justru akan memicu emosi berubah menjadi buruk. Percayalah! Saat kamu merasa siap terhadap sesuatu, yang akan kamu hadapi adalah hal yang tidak pernah kamu siapkan sebelumnya. Belum lagi, hal itu akan haunted kamu di saat kamu down, ketika jam dua pagi tapi masih terjaga misalnya.

Saya tahu, saya harus membuat batasan yang kuat. Ketika kamu terluka, you have to stay in safe place to heal yourself first. Kamu harus punya safe place, hidding place, atau apalah itu namanya. Dan, jangan sesekali untuk mencoba melewati batas. Hal buruk yang bisa kamu prediksikan bisa saja menjadi pisau tajam yang akan menusukmu lebih dalam. Sekali saja melewati batas, ada pola berulang yang mungkin kamu alami.

There is Many Things that You Can’t Control

stainless steel beer dispenser
Photo by Pixabay on Pexels.com

Lemesin aja, shaaaay!

Saat harapan dan keinginan sudah menjadi beban memang tidak akan pernah menyenangkan. Menginginkan barang yang merupakan benda mati tapi tidak bisa kita miliki aja sudah menyakitkan, apalagi menginginkan orang lain berlaku seperti yang kita inginkan. Padahal, kita tidak bisa mengendalikan perilaku, pikiran, dan hati orang tersebut. Mau dipaksa bagaimana pun, if they aren’t into us, you’ll get nothing. Itu sama saja kita bereksepektasi sembari gladi resik menyakiti diri sendiri.

Mau tidak mau, suka tidak suka, kita harus tahu jika banyak hal-hal yang di luar kendali kita. Salah satu contohnya, meminta dia untuk tetap tinggal atau meminta dia untuk kembali. Kita bisa saja berusaha untuk mendapatkan atensi dan perhatian dia. Namun, jika hatinya sudah menjauh, ya kita tahu sebenarnya ini akan berujung ke mana. Mau dipaksa sekeras apa pun, mau sebodoh apa kita bertindak, kita hanya akan menyakiti diri sendiri.

Dari kejadian kemarin, saya belajar untuk sebisa mungkin berfokus pada hal-hal yang bisa saya usahakan.

 All of Us Need Escapism

young woman sitting lonely on ground under dingy wall of industrial building
Photo by armağan başaran on Pexels.com

Sebenarnya, tulisan ini sudah lama hampir selesai dan akan di-publish. Namun, saya berhenti untuk menyelesaikannya beberapa lama. Alasannya, saya mau memastikan saat tulisan ini publish, kondisi saya memang sudah baik-baik saja. Saya menunda ini agar  saya dapat bertanggung jawab apa yang sedang saya tuliskan.

Jika sebelumnya, saya sangat percaya diri jika saya sudah selesai dengan apa yang terjadi di masa lalu beserta luka-luka yang sebenarnya saya sebabkan sendiri. Sekarang, apa pun yang saya lakukan memang untuk menyenangkan hati, bukan melarikan diri.

Ternyata, hal itu tidak sepenuhnya benar dan tidak seharusnya salah.

Saya tunda semuanya untuk memastikan bahwa semuanya berjalan dengan baik dalam waktu yang cukup lama. Namun, apa yang terjadi selanjutnya adalah yang sebaliknya saya pikirkan.

Baru-baru ini mental, emosi, dan mood saya hancur-hancuran. Well, tidak semua orang tahu, tapi ada beberapa orang tahu itu pasti. Padahal, sejak bulan Juni yang lalu semua berjalan baik-baik saja dan stabil. Entah kenapa, padahal tidak ada trigger besar, hanya coba-coba mengkonfrontasi dengan hal-hal yang pernah jadi penyebab luka. Awalnya saya percaya diri kalau semuanya biasa saja. Namun, yang terjadi adalah saya gelisah, kehilangan fokus, negative thinking, dan semua energi negatif tiba-tiba menyelimuti selama berhari-hari.

Saya terdiam cukup lama untuk mencerna apa yang sebenarnya terjadi. Setelah itu, saya bertanya-tanya untuk menguraikan kerumitan ketidakstabilan emosi yang terjadi.

Well, shit happen again

Akhirnya, saya menyadari jika memang kita tidak bisa selalu menyenangkan hati dengan hal-hal yang kita sukai. Ada saat-saat kita butuhan pelarian diri, escapism, hiding place, dan sejenisnya.

Entah apa itu namanya, saya menganggapnya sebagai siklus tahunan, ada juga yang beranggapan jika itu itu sebagai efek dari konstelasi bintang-bintang di angkasa. Apa pun itu, sebenarnya kita sedang membuka pikiran dan mencari ketenangan agar semua hal yang dirasa buruk bisa berlalu.

Ternyata, tidak selalu baik-baik saja itu normal

Ternyata, tidak selalu normal itu baik

Tidak perlu malu pada diri sendiri untuk mengakui kalau kita tidak selalu bisa berada di kondisi dan situasi yang kita harapkan. Karena setelah ini, masih ada banyak hal yang harus kita hadapi. Kita tidak tahu apa yang terjadi setelah ini. Semuanya masih menjadi misteri yang tidak bisa diungkap oleh siapa pun. Meskipun demikian, dari titik ini kita belajar agar hal buruk yang mungkin terjadi karena kebodohan sendiri bisa dihindari. Dan yang perlu kita ingat, kita tidak akan selalu bahagia, tapi seharusnya kita tahu kapan terakhir kali merasa bahagia.

Leave a Reply