Solo Hiking Pertama di Gunung Ungaran via Perantunan

Spread the love

Ada banyak kali pertama dalam hidup, akhir Maret 2023 lalu, saya coba adalah solo hiking aka naik gunung sendirian. Terdengar menyeramkan, bukan? Terus, gimana rasanya naik gunung sendirian? Setelah saya alami sendiri, ternyata solo hiking ga seburuk dan semenakutkan yang dibayangkan, kok.

Berdasarkan pengalaman pribadi solo hiking, saya dapet banyak hal baik ketimbang hal buruknya.

Karena baru pertama kali dan udah lama ga latihan kardio (karena sering hujan), saya pilih gunung dengan estimasi pendakian yang cepet yakni Gunung Ungaran via Perantunan.

Baru pertama kali lewat jalur Perantunan, saya melakukan adalah riset mengenai jalur ini, mulai dari bertanya dengan teman yang pernah ke sana, melihat perjalanan orang lain di YouTube, bukan Instagram dengan tagging #ungaranviaperantunan, sampai cek review-nya di Google.

Riset tersebut bisa jadi modal awal supaya ga buta-buta amat pas ke sana sehingga mental mendaki jadi sedikit lebih siap.

Benar saja, mendaki Gunung Ungaran via Perantunan seorang diri ini memberikan kesan tersendiri.

Perjalanan dari Solo ke basecamp pendakian Gunung Ungaran via Perantunan butuh waktu sekitar 2 jam 30 menit (sudah sama istirahat dan makan siang). Masih under control, lah. Sampai di basecamp sekitar jam 12an, simaksi, sebat bentar langsung berangkat.

Untuk lokasi basecamp-nya sendiri lebih approachable dibanding basecamp Gunung Ungaran via Mawar, Medini, maupun Gedong Songo. Saya hanya perlu ke alun-alun Bandungan, naik ke atas ke arah Susan Spa sampe mentok.

Tiket masuk Gunung Ungaran via Perantunan ini murah, hanya 20 ribu sudah termasuk parkir motor menginap. Fasilitas lengkap, ada warung makan, toilet, tempat istirahat, bahkan penginapan untuk mereka yang sekadar ingin glamping.

Pendakian dari basecamp sampai camp area terakhir, Puncak Bondolan membutuhkan waktu empat jam kurang dikit. Itu pun karena ada hujan di tengah perjalanan sehingga saya berhenti cukup lama di Pos 3. Kondisi trek pendakiannya cukup bersahabat walau bonusnya sedikit, terutama dari basecamp pendaftaran sampai Pos 3.

Setelah Pos 3 menuju Pos 4 dan camp area Puncak Bondolan, saya harus mengeluarkan tenaga ekstra karena jalannya cukup menanjak. Puncak Bondolan menjadi tempat terakhir yang bisa digunakan untuk mendirikan tenda. Areanya cukup luas dan bisa menampung puluhan tenda.

Pemandangan bagus dari tempat ini sudah mulai terlihat setelah melewati vegetasi hutan setelah Pos 4. Bahkan, saya bisa melihat hamparan kota Ungaran, Salatiga, dan Ambarawa, termasuk dengan Rawa Peningnya.

Di Pos 3 saya bertemu dengan seorang porter yang bernama Alvy membawa barang miliki pendaki dari Jakarta. Karena sama-sama seorang diri, kami pergi bersamaan. Tapi, ya namanya juga porter akamsi, kondisi fisiknya beda jauh sama saya.

 Jadi, beberapa kali saya tertinggal dan saya persilahkan dia untuk duluan. Walau akhirnya saya bertemu lagi. Saat saya sedang turun dari pos 4 menuju pos 3, saya berpapasan dengannya yang sedang mengantarkan barang bawaan rombongan open trip ceunah.

Saya pergi hari Jumat di bulan puasa. Awalnya saya pikir di atas saya seorang diri. Sesampainya di Puncak Bondolan, sudah ada dua tenda berdiri. Belum lagi masih ada satu rombongan di belakang yang barangnya dibawa oleh Bung Alwy.

Saya sampai di atas sekitar jam 4 kurang dikit. Mengingat sudah tidak pernah latihan fisik, pendakian ini cukup melelahkan, saya tidak langsung mendirikan tenda. Saya buka kursi lipat, duduk sembari sebat, minum susu Cimory Marie Biscuit, dan kepingan Oreo.

Setelah perjalanan yang panjang, momen-momen ngaso sembari melihat keindahan kota dari ketinggian itu menyenangkan sekali.

Ketika hari sudah mulai gelap, saya  bongkar tas carrier, keluarkan tenda, dan saya tegakkan sendirian juga. Pasang footprint, bentangkan layer pertama, sambungkan frame, dirikan. Kemudian, membentangkankan outer layer dan pasang pasak di setiap sisinya. Easy!!!!

Tenda sudah berdiri, semua barang dimasukkan, saya mengambil kesempatan untuk berbincang dengan pendaki lain. Ada Jaka dan Mizwar, pendaki dari Tuban yang masih SMK. Bersama mereka lah saya akan summit ke Puncak Botak keesokan harinya.

Saya menyebut mereka dengan panggilan bocil kematian. Bukan apa-apa, dari puncak Bondolan ke Puncak Botak bersama mereka, kami hanya berhenti dua kali. Itu pun untuk foto-foto. Anak muda emang tenaganya luar biasa.

Hari makin malam, saya diajak pendaki lain, Josh dan temannya untuk cari tempat santuy yang lebih tinggi untuk lihat city light yang lebih bagus. Damn! Saya lihat tenda kuning saya bercahaya dengan lampu kota di bawahnya terlihat cantik sekali.

Salah satu keunikan dari pendaki adalah mereka bisa akrab padahal baru pertama kali bertemu. Pembicaraan biasanya dimulai dari pernah ke gunung apa aja dan sharing pengalaman perjalanan. Kemudian pembicaraan akan dilanjut dengan banyak topik yang keluar jalur dari tema mendaki dan traveling. Seru pokoknya. Ngobrol ngalur-ngidul sampai jam 11 malam, kami kembali ke tenda masing-masing untuk beristirahat.

Sebagai pengiring waktu tidur, saya memikirkan apa yang sudah terjadi seharian ini.

Sebelum melakukan pendakian ini, salah satu ketakutan terbesar saya adalah tidur sendirian di dalam tenda. Takut ada hantu lah, ada suara-suara aneh lah, tiba-tiba ada yang buka tenda lah. Padahal mah hari-hari biasa juga apa-apa sendirian. Tapi, semua ini tentang midset. Awkowkowk

Pas udah dilakuin ternyata B aja. Satu hal yang aku pelajari, ternyata ketakutan-ketakutan itu cuman ada di pikiran. Tinggal jalani aja dan kalau ada apa-apa ya pasrah aja. Saya tidur di tenda kapasitas dua orang dengan ukuran sekitar 2 meter x 1 meter. Agar tidak dingin, saya pakai sleeping bag.

Tak lama setelah memasang sleeping bag, saya menyadari sesuatu, “anjir, ini mah coseplay jadi orang meninggoy.” Bukannya makin takut, saya jadi lucu sendiri.

Ternyata sama sekali tidak ada ketakutan saat tidur di dalam tenda sendirian. Cuman ya, namanya juga tidur di tenda, di atas tanah dan Cuma dilapisi matras. Jadi, ya ga nyaman-nyaman banget. Belum lagi sama dinginnya kalau pintu tenda dibuka. Tidur ga tenang juga gapapa, udah terbiasa ini.

Keesokan harinya, saya summit ke Puncak Botak bersama duo bocil kematian. Masak sebentar, makan, packing untuk turun. Di tengah perjalanan turun, ada dua ukhty yang bulan puasa iseng tektok yang juga turun. Alhasil, mereka berdua jadi teman turun saya. Pengalaman pertama yang menyenangkan, banyak capeknya, dan sedikit sedihnya. Yang jelas, sepertinya saya akan ke tempat ini lagi.

Leave a Reply