ada di senyum mereka

Spread the love

Malam itu. . . .
Aku hanya bisa terdiam dalam biasku
Apakah hidup itu sebenarnya
Banyak teori yang aku tau, tapi hatiku belum menemukannya
. . . . .
“SHAROOOOOOOON, BANGUUUUUUUUUUN SUDAAAAAAAH PAGIIIII” Suara mamah sudah begitu menggemparkan rumah kami.
“Eemmmmmrrrrrgggghhh, iya mah” Sahutku
“Sarapan udah bibi siapin, kamu buruan mandi, makan terus berangkat kuliah” perintah sang mamah di pagi hari
“Siap kapten” sahutku singkat lagi sambil pergi ke kamar mandi.
. . . . .
Dalam hatiku, selalu terngiang-ngiang sebuah pertanyaan.
Dan terus-menerus menggema dalam benakku.
Jadi hidup itu apa ? Untuk apa itu hidup ?
“HOI De, masih pagi udah melamun aja” ucap sang kakak mengagetkanku
“Tau nih kak, masih pagi udah banyak aja yang di pikirin” timpalku
“Halah, kaya Presiden aja pagi-pagi udah banyak yang dipikirin “ ejek sang kakak
“Ih bener kak, akhir-akhir ini aku sedang memikirkan tentang hidup” kata ku dengan muka sedikit ngantuk
“Udah habisin dulu sarapanmu, terus kuliah, ntar malem kakak mau cerita banyak hal tentang hidup sama kamu” kata sang kakak sambil mengusap-usap kepalaku.
. . . .
Segera kuhabiskan sarapanku, lalu mengambil semua buku kuliahku hari ini dan berangkat ke kampus.
. . . .

Perkenalkan namaku Tamariska Sharon Mandalawangi, Mahasiswi Sejarah Universitas Indonesia, Tamariska adalah nama pohon dalam Alkitab yang menandakan perjanjian antara Abraham dan Imam Melkisedek yang menjadi salah bagian cerita dari bible yang sering diambil para Pendeta untuk mengkotbahkan tentang perpuluhan, sedangkan Sharon berasal dari bahasa Ibrani yang berarti Permaisuri, sudah pasti Permaisuri adalah kesayangan bagi sang Raja, dan Mandalawangi adalah nama sebuah lembah di gunung Gede, Jawa barat yang terkenal dari puisi Soe Hoek Gie, seorang aktivis mahasiswa yang berjuang lewat tulisan-tulisannya menyuarakan suara rakyat dengan sangat gencarnya,selain itu dia seorang pecinta alam, salah satu kutipannya yang teringat dalam pikiranku adalah orang yang paling beruntung adalah yang tidak pernah dilahirkan di dunia ini dan orang yang mati muda, perkataannya itu seperti doa dan doa nya terkabul, Soe Hoek Gie meninggal di Arcopodo sebuah post pendakian terakhir tepat dibawah Mahameru puncak tertinggi dijawatepat di ulang tahunnya yang ke 26.
Tiga kata dalam namaku benar-benar penuh arti, seorang permaisuri, sebuah perjanjian dan sebuah lembah kesukaan aktivis yang ingin merubah Negeri menjadi lebih baik.

Nama ku adalah pemberian Ayahku, dia adalah seorang yang penuh dengan pesona yang luar biasa sampai aku tak pernah bisa berbohong padanya, hobby nya berpetualang menjelajahi daerah-daerah yang indah, gambaranku tentang ayah, dia adalah orang yang mencintai Allahnya, menyayangi keluarganya dan mencintai Indonesia, hatinya selalu penuh dengan belas kasihan. Saat ini ayah bekerja sebagai Peace Mediator di PBB, tapi dia tak pernah mau meninggalkan Indonesia sebagai tempat dia pulang. Hobby yang benar-benar ayah turunkan padaku adalah pergi Mendaki Gunung, dan gunung favorit kita adalah gunung Merbabu, berkali-kali aku bertanya kenapa aku begitu cinta mendaki gunung, tapi aku tak pernah mendapat jawabnya, dan perjalananku terus berjalan.

. . . .
“Sharon, tugas Filsafat kuno sudah kelar belum ?” bisik Abigail di telingaku
“belum gi, lagian kan besok dikumpulnya” balasku
“ah elah, elu mah pasti gitu, mepet mulu” timpalnya
“Iya Gi, gue akhir-akhirnya sering bingung” jawabku
“Bingung kenapa lo ?” Tanyanya lagi
“ Gue ceritain juga lo ga akan ngerti, otak lo ga bakal nyampe” Singkatku
“ Sialan lo, mentang-mentang otak lo diatas rata-rata” toyor si Abigail

Ya memang, di pergaulan Universitas Indonesia, aku adalah orang yang mempunyai kecerdasan diatas rata-rata temanku, aku mengambil jurusan sejarah karena aku yakin dimasa lalu ada pola yang terbentuk dan hingga sampai sekarang pola tersebut masih terhubung, Aku sendiri memiliki pemikiran yang berbeda dari teman-temanku terlihat sangat kokoh padahal sebenarnya mudah sekali goyah dihantam pandangan-pandangan sok kritisku.

Oh iya, satu lagi yang belum ku perkenalkan kakakku, Hizkia Abednego kesayangan sang mama tapi bukan anak mama, lulusan kedokteran Universitas Diponegoro, dan sekarang menjadi doctor disorder, dokter yang bertugas di daerah-daerah konflik, seperti suriah, kamboja, bagian afrika. Dia baru saja pulang kerumah minggu lalu, dan akan pergi lagi minggu depan,.

Mamaku ? dia akan menjadi rahasia untuk sementara waktu.

. . . .

Hari sudah malam, dan janji sang kakak ditepatinya, dia mengajakku kesebuah kafe

“Kak, kok betah sih tugas disitu ? kan lebih enak jadi dokter disini, apa-apa nyaman dan semuanya ada” Pancingku

“De, kamu kan ngerti sendiri, kita itu sama, sama-sama gamau hidup itu biasa-biasa dan nyaman aja kan, kamu ngapain tetep mau naik gunung padahal sempet mau meninggal kedinginan di Pestan (Post Gunung Sumbing)” jawab Kakak

“ Iya sih kak, tapi akhir-akhir ini dalam benakku dibingungkan dengan banyak pertanyaan, salah satunya hidup itu apa ? hidup untuk apa ? aku tau aku hidup tapi kok ada keraguan kecil dalam hatiku tentang hidupku ya kak, padahal ayah kan ngajarin tentang Firman Tuhannya getol banget, secara pemikiran sih apa yang ayah kasih itu more than enough kak, tapi kayak ada yang kurang gitu kak, dan aku ngerasa banyak yang tidak sinkron di dalam hati dan pikiran ini” kata ku

“De, kamu tau kan dimana kakak tugas ?”
“ Tapi tempat kakak tugas itu bukan tempat yang enak dan manusiawi, banyak keterbatasan disanan”

“Tapi. . . . .”

ditempat tidak ada hak manusia, kakak melihat kemanusiaan disana”
“ditempat yang penuh air mata, kakak melihat banyak senyum penuh pengharapan”
“ditempat penuh keterbatasan, kakak melihat orang-orang yang sukarela berbagi dengan tulus”
“ditempat ketidaklayakan kemanusiaan, kakak melihat selalu ada lilin kecil yang menyala”
“Kamu tau, setiap pagi, bahkan ketika klinik belum buka, sudah lebih 100 pasien menunggu untuk berobat, suatu kepuasan sendiri saat kakak mengobati mereka karena kakak tau mereka tidak bisa membalas setimpal dengan dengan apa yang kakak lakukan karena mereka tidak mempunya apa-apa,
Tapi ternyata kakak salah. . . .

Saat, mereka selesei berobat, mereka selalu tersenyum dengan penuh harapan.
Dalam senyumnya, kakak melihat senyum kamu, senyum ayah, dan senyum mamah.

Dalam senyum mereka, kakak melihat keluarga kita de

. . . .
 
Sekian
 
Teruntuk kamu, yang masih dalam angan dan doa ku.
Dari hatiku yang paling dalam, aku mencintaimu

Leave a Reply